JEJAK INDAH SANG PEMIMPIN BAGIAN 2
"Yaa Allah Kuatkanlah Isalam dengan dua orang yang Engkau Cintai Umar Bin Khattab atau Amru Bin Hisyam (Abu Jahal)"
do'a Nabi Salallahu'alaihi wasallam itu ternyata dikabulkan oleh Illah
semesta alam ini dengan membuka hidayah kepada Umar Bin Khattab hingga
menjadi muslim.
sejak masuknya dia
kedalam agama Muhammad, keyakinannya pun semakin kuat. sehingga umar
mendapat kepercayaan yang baik dari kaum muslimin, terlebih lagi Baginda
Sayyidina Muhammad.
sehingga sampailah kepadanya waktu yang
sangat mengiris hati, yaitu saat Nabiullah Salallahu'alaihi wasallam
menutup mata untuk terakhir kali memenuhi panggilan Allah. Umar adalah
yang paing tertusuk hatinya saat Baginda Rasul Wafat. bahkan ia melarang
kaum muslimin untuk memaqndikan jenazahnya karena dia yakin, Rasulullah
hanya tidur untuk sementara.
namun tidak demikian....
Seniornya
(Abu Bakar Ash Siddq) yang juga pewaris kekhalifahan setelah Rasul itu
menuturi Umar bahwa Rasulullah adalah juga manusia seperti dirinya.
waktupun semakin berlalu..
islam semakin berkembang setelah kekhalifahan di wariskan kepada Abu Bakar Ash Siqqd Radiallahu'anhum. dan singkat cerita...
Umar Bin Khattab adalah pewaris selanjutnya setelah Abu Bakar Ash Siddq.
Malam telah pekat, selimut-selimut semakin dirapatkan para pemiliknya
untuk menambah lelap. Angin sahara menderu akrab ditelinga, dingin
menusuk, kesunyian hadir sejak tadi. Dia mengendap-endap keluar dari
petak rumah sederhana, menyusuri setiap lorong perkampungan Madinah.
Jubah kumal bertambalan itu menemaninya pergi. Ditajamkannya
pendengaran, adakah rakyatnya menyelami derita yang luput dari
perhatian. Diawaskannya mata, terdapatkah rakyat alami duka akibat
kepemimpinannya. Jika dia berlalu dan mendengar dengkuran halus pemilik
rumah, senyuman menemaninya berpatroli.
Sendirian, dia memamah
malam, langkahnya berjinjit khawatir mengganggu istirahat rakyat yang
begitu dicintai. Dari setiap detik yang mengalir, selalu kecemasan yang
membayang di wajah pemberaninya, jangan-jangan di rumah ini ada janda
dengan anak-anak yang kelaparan, atau khawatir di rumah selanjutnya
orang tua terkapar kesakitan tanpa sanak saudara, adakah di rumah itu
yang sakit hati karena pajak terlalu tinggi. Sendirian dia menikmati
paruh malam, menyulam harapan keadaan rakyat sentosa senantiasa, merajut
do'a agar rakyat dibawah naungan perlindungannya dilingkupi pilinan
kedamaian.
Langkahnya terhenti, ketika beberapa wanita terdengar bersenandung, dari bilik sebuah rumah:
Adakah jalan untuk minuman memabukkan,
Dan aku akan meminumnya
Atau adakah jalan,
Kepada Nashr bin Hajjaj?
Saat itu, dia berdiam lama, menghafal sebuah nama asing dalam hatinya,
Nashr bin Hajjaj. Selanjutnya patrolinya dilanjutkan, hingga waktu fajar
sebentar lagi menjemput. Pagi harinya, dia mencari tahu nama yang
didapatinya tadi malam. Salah seorang pembantunya menghadapkan seorang
laki-laki dari suku Sulaym, Nashr bin Hajjaj. Berdiri tegap sang pemuda.
Dia memandangnya lekat. Pemuda yang menakjubkan, ketampanannya
mempesona, rambutnya indah. Dia mengingat syair wanita semalam. Akhirnya
sang pemuda diperintahkan untuk memotong rambut, ketika kembali, Nashr
tampak lebih tampan, dia pun menyuruhnya mengenakan ikat kepala, kali
ini pun Nashr terlihat lebih mempesona. Khawatir menimbulkan banyak
fitnah dan kemudharatan di tempat berdiamnya selama ini, Dia pun
mengamanahkan Nashr tugas mulia, menjadi anggota pasukan tentara dengan
jaminan kehidupan yang lebih baik. Wajah Sang pemuda pun berbunga.
Siapakah dia, yang sangat khawatir terjadi kerusakan akhlak para wanita
hingga memikirkan solusi terbaik dengan memindahkan Nashr? Tebak, siapa
pemimpin yang begitu tulus mencintai rakyatnya dengan berjalan dari
satu lorong ke lorong yang lain untuk mencari tahu adakah rakyatnya yang
tidak dapat tidur nyenyak? Ya, saya sepakat denganmu sahabat, Dia
adalah Umar Bin Khattab, khalifah kedua bergelar amirul mu'minin,
pemimpin bagi orang-orang mu'min. Begitu Mahsyur.
Suatu periode
dalam kepemimpinan Umar, terjadilah Tahun Abu. Masyarakat Arab,
mengalami masa paceklik yang berat. Hujan tidak lagi turun. Pepohonan
mengering, tidak terhitung hewan yang mati mengenaskan. Tanah tempat
berpijak hampir menghitam seperti abu.
Putus asa mendera
dimana-mana. Saat itu, Umar sang pemimpin menampilkan kepribadian yang
sebenar-benar pemimpin. Keadaan rakyat diperhatikannya seksama. Tanggung
jawabnya dijalankan sepenuh hati. Setiap hari diinstruksikan
menyembelih onta-onta potong dan disebarkan pengumuman kepada seluruh
rakyat. Berbondong-bondong ribuan rakyat datang untuk makan. Semakin
pedih hatinya. Saat itu, kecemasan menjadi kian tebal. Dengan hati
gentar, lidah kelunya berujar, "Ya Allah, jangan sampai umat Muhammad
menemui kehancuran ditangan ini".
Sejarah menorehkan kisah Umar
yang mengharamkan daging, samin dan susu untuk perutnya, khawatir
makanan untuk rakyatnya berkurang. Ia, si pemberani itu hanya menyantap
minyak zaitun dengan sedikit roti. Akibatnya, perutnya terasa panas dan
kepada pembantunya ia berkata "Kurangilah panas minyak itu dengan api".
Minyak pun dimasak, namun perutnya kian bertambah panas dan berbunyi
nyaring. Jika sudah demikian, ditabuh perutnya dengan jemari seraya
berkata, "Berkeronconglah sesukamu, dan kau akan tetap menjumpai minyak,
hingga rakyatku bisa kenyang dan hidup dengan wajar".
Tahun
abu pun berlalu. Daerah kekuasaan Islam bertambah luas, pendapatan
negara semakin besar. Masyarakat semakin makmur. Apakah umar berhenti
berpatroli? Masih dengan jubah kumal, umar didampingi pembantunya
berkeliling merambahi rumah-rumah berpelita. Kehidupan keluarga umar,
masih saja pas-pasan. Padahal para gubernur di beberapa daerah hidup
dalam kemewahan. Para sahabat, mulai berkasak-kusuk, mereka mengusulkan
untuk memberi tunjangan dan kenaikan gaji yang besar untuk Umar. Namun,
para sahabat tidak berani menyampaikan usul ini langsung kepada umar.
Lewat Hafsah putri Umar, yang juga janda Rasulullah, usul ini
disampaikan. Sebelumnya mereka berpesan supaya tidak disebut nama-nama
mereka yang mengusulkan.
"Siapa mereka yang mempunyai pikiran
beracun itu, akan ku datangi mereka satu persatu dan menamparnya dengan
tanganku ini," berangnya kepada Hafsah. Selanjutnya tatapannya meredup,
dipandanginya putri kesayangan itu, "Anakku, makanan apa yang menjadi
santapan suamimu, Rasulullah?" Hafsah terdiam, pandangannya terpekur di
lantai tanah. Ingatan hidup indah bersama sang purnama Madinah,
tergambar. Terbata Hafsah menjawab, "Roti tawar yang keras, ayah. Roti
yang harus terlebih dahulu dicelup ke dalam air, agar mudah ditelan".
"Hafsah, pakaian apa yang paling mewah dari suamimu," seraknya masih
dengan nada kecewa. Hafsah semakin menunduk, pelupuk mata sudah
tergenang. Terbayanglah tegap manusia sempurna, yang selalu berlaku baik
kepada para istrinya. "Selembar jubah kemerahan, ayah, karena warnanya
memudar. Itulah yang dibangga-banggakan untuk menerima tamu kehormatan".
Pada saat menjawab, kerongkongan Hafsah tersekat, menahan kesedihan.
"Apakah, Rasulullah membaringkan tubuh diatas tilam yang empuk?"
pertanyaan ini langsung dipotong Hafsah "Tidakk!" pekiknya. "Beliau
berbantal pelepah keras kurma, beralaskan selimut tua. Jika musim panas
datang, selimut itu dilipatnya menjadi empat, supaya lebih nyaman
ditiduri. Lalu kala musim dingin menjelang, dilipatnya menjadi dua, satu
untuk alas dan bagian lainnya untuk penutup. Sebagian tubuh beliau
selalu berada diatas tanah". Saat itu meledaklah tangis Hafsah.
Mendengar jawaban itu, Umar pun berkata, "Anakku! Aku, Abu Bakar dan
Rasulullah adalah tiga musafir yang menuju cita-cita yang sama.
Mengapakah jalan yang harus kutempuh berbeda? Musafir pertama dan kedua
telah tiba dengan jalan yang seperti ini." Selanjutnya Umar pun
menambahkan "Rasulullah pernah berkata: Kita adalah kaum yang
menangguhkan kesenangan untuk hari akhir. Perumpamaan hubunganku dengan
dunia seperti orang yang berpergian pada musim panas. Ia berlindung
sejenak dibawah pohon, kemudian berangkat meninggalkannya".
Pada
saat kematian menjelang lewat tikaman pisau Abu Lu'Lu'a, budak Mughira
bin Syu'bah, ringan ia bertutur, "Alhamdulillah, bahwa aku tidak dibunuh
oleh seorang muslim". Mata yang jarang terlelap karena mengutamakan
rakyatnya itu menutup untuk selama-lamanya. Umar pun syahid, dalam usia
60 tahun. Innalillahi Wa Inna Ilaihi Raajiiun.
Madinah berduka, sebuah syair menghantarkan kepergiannya:
Allah membalas kebaikan kepada Imam
Memberi berkah ke kulit bumi yang terkoyak
Kau raih kemilau sejarah gemilang
Kau tinggalkan retak-retak belum selesai
Siapa terbang di sayap burung unta
Akan terkejar apa yang sudah berlalu sebelumnya?
Setelah pembunuhan di Madinah
Dunia pun gelap
Pohon-pohon tersentak bergetar,
Dan tidak kuharapkan
Kematiannya dikuku singa
Bermata biru, kepala merunduk
(Muzarrad bin Dzirar)
wassalamu'alaikum..
Ketika saya menulis tautan ini, saya sedang berharap bahwa ada 1 atau 2
bahkan lebih dari teman2 pembaca, adalah pewaris kepemimpinan beliau
sayyidina Umar Bin Khattab Radiyallahu'anhum...
kemanakah sosok itu di zaman ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar